Minggu, 03 Juni 2012

Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional Dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi Di Indonesia

Review Jurnal : KEPASTIAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DI INDONESIA
Pengarang : Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum
Sumber: 
http://ocw.usu.ac.id/course/download/10430000019-hukum-transaksi-bisnis-internasional/hk_607_slide_kepastian_hukum_dalam_transaksi_bisnis_internasional_dan_implikasinya_terhadap_kegiatan_investasi_di_indonesia.pdf

A. Abstrak
Melalui UU No. 25 Tahun 2007 Indonesia telah menyatakan tekadnya untuk mewujudkan sebuah sistem hukum investasi yang berkepastian hukum. UU ini menempatkan asas kepastian hukum sebagai asas utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Dengan keluarnya UU ini, tidak dengan sendirinya seluruh problema investasi di Indonesia menjadi terselesaikan. UU ini hanya sebuah sub-sistem dari kompleksnya pengaturan investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh kepastian dalam peraturan perundang-undangan lain yang terkait langsung dengan aktifitas investasi, termasuk berbagai peraturan tentang transaksi bisnis internasional. Berbagai perkara mengenai transaksi bisnis internasional yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya substansi hukum dan penerapan hukum terkait transaksi bisnis internasional masih menjadi kendala bagi perbaikan iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu, selain pembangunan hukum dalam pengertian substansi hukum terkait investasi, harmonisasi hukum, juga diperlukan penguatan kapasitas pemahaman aparat penegak hukum, para lawyer dan para pelaku usaha tentang aspek hukum transaksi bisnis terutama yang berdimensi internasional.

B. Kepastian Hukum sebagai Pertimbangan Utama Investor
Horikawa Shuji, salah seorang pengusaha asal Jepang menjelaskan pertimbangan investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang paling tinggi ke tempat yang paling rendah. Apapun alasannya, pelaku bisnis selalu mencari itu, sebab pengusaha itu butuh ketenangan berusaha, berharap mendapat insentif yang memadai dari pemerintah dimana ia berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang.14 Apa yang bisa membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang dilakukannya.
Dengan demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum. Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn dan Henry Gomez sebagai berikut :15
13 Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2007 adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. 14 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Nuansa Alia, Bandung, 2007, hlm. 52 15 Paul V. Horn and Henry Gomez, International Trade Principles and Practices, Fourth Edition, prentice Mall, Engleuxwd, New Jersey, 1964, hlm. 261. Perhatikan juga Sentosa Sembiring, ibid., hlm. 44-47
“ In making foreign investment a number of important points are to be taken into consideration. The Investor is concerned, first, with the safety of his investment and, second, with the return which it yields. The factors having a direct bearing on these considerations may be classified as follows : (1). Political stability and financial integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which the investment is made ; (3) laws pertaining to capital and taxation, attitude towards foreign investment, and other aspects of the investment climate of the host country; (4) future potential and economic growth of the country where the investment is made; (5) exchange restrictions pertaining to the remission of profits and with-drawal of the initial investment.”
Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian. Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment) maupun portfolio investment. Studi Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2005 mencatat bahwa pada tataran perusahaan (firm level) ditemukan sejumlah hambatan investasi yang masuk dalam kategori instabilitas makro-ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi. Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya akses terhadap pembiayaan, rendahnya supplay energi listrik, rendahnya skill tenaga kerja, regulasi bidang ketenagakerjaan, dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan investasi pada tingkat pemerintahan daerah.

C. Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Masih Menjadi Faktor Penghambat Investasi di Indonesia
Dalam hukum investasi, aktifitas investasi tidak hanya meliputi tahap entry appropal (right to entry) atau yang biasa dikenal dengan istilah green field investment, tetapi investor juga akan memperhatikan aspek kepastian hukum pada tahap post establishment stage atau brown field investment. Pada fase ini investor sangat perhatian terhadap sisi stabilitas, prediktibilitas dan kepastian hukum terkait aktifitas usaha, hukum kontrak dan transaksi bisnis pada umumnya. Hal ini sesuai dengan kategori komponen-komponen yang mempengaruhi investasi, yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost seperti pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi, infrastruktur, ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan investasi di pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan efektif hukum persaingan.18
Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesi masih rendah dan sangat mempengaruhi minat investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak berakibat pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.19 Investor sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia.

D. Kepastian Hukum dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing terkait Transaksi Bisnis
Penyelesaian sengketa transaksi bisnis umumnya dilakukan secara konvensional melalui litigasi, akan tetapi implikasi kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak professional dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.25 Bagi kenayakan pelaku transaksi bisnis internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efektif dan efisien lagi serta memerlukan waktu yang relative lama. Di samping itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan menempatkan para pihak pada sisi yang bertolak belakang, satu pihak sebagai pemenang (winner) dan pihak lain sebagai pihak yang kalah (looser). Hal ini kerap dipandang tidak menyelesaikan masalah bahkan semakin memperuncing perselisihan dan akhirnya terjadi permusuhan yang tidak berkesudahan. 26 Oleh karena itu, arbitrase lahir sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang dinilai efisien dan efektif bagi transaksi bisnis, khususnya yang bernuansa internasional.
Banyak faktor yang mendorong para pelaku transaksi bisnis internasional memilih arbitrase, diantaranya adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding dan karenanya cenderung siap untuk dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai national character.27 Kedua alasan ini selalu menjadi pertimbangan pihak asing yang melakukan transaksi bisnis di Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah pada aspek kepastian hukum, dan pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadi nasionalisme sempit pada hakim pengadilan nasional.28
Dalam sisitim hukum di Indonesia, karakteristik final and binding pada putusan arbitrase diakui secara imperative dalam Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, karena tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali terhadap putusan tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat sengketa transaksi bisnis internasional yang telah diputus oleh badan arbitrase, khususnya badan arbitrase internasional, justru menimbulkan kontroversi dan pelaksanaan
25 Eman Suparman, Pilihan Forum Abitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Tatanusa, Jakarta, 2004, hlm. 2 26 Ibid, hlm.3 27 Perhatikan Erman Rajagukguk, Opcit., hlm. 193-194 28 Perhatikan Hikamahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm. 84.
putusannya masih berlarut-larut yang berujung pada pencitraan lemahnya kepastian hukum di Indonesia.
Salah satu perkara yang sering menjadi referensi adalah sengketa antara Pertamina vs Karaha Bodas Company LLC dalam proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Karaha Bodas. Perkara yang diputus oleh Majelis Arbitrase Jenewa Swiss berdasarkan ketentuan Arbitrase UNCITRAL pada tanggal 18 Desember 2000 ini menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 266,166,654 dan berikut bunga 4 % pertahun karena Pertamina terbukti telah melanggar kewajiban yang seharusnya mereka penuhi sebagaimana tertuang dalam Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC).29 Pertamina melakukan upaya hukum melalui gugatan pembatalan putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan Pertamina dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan selanjutnya memerintahkan KBC untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk eksekusi terhadap putusan Majelis Arbitrase Jenewa. Diterimanya gugatan pembatalan putusan Arbitrase Jenewa tersebut oleh PN Jakarta Pusat mengaburkan kepastian hukum. Pasal VI jo. Pasal V (1) (e) Konvensi New York 1958 dengan tegas menyatakan bahwa pengadilan yang memiliki wewenang untuk memutus permohonan pembatalan terhadap Putusan Arbitrase Internasional adalah hanya pengadilan di negara mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dibuat. Dari segi kompetensi relative, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Pasal 72 dan Pasal 1 ayat (4) UU Arbitasr dikatakan bahwa pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. Oleh karenanya, jelas bahwa PN Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk menerima gugatan pembatalan putusan Arbitrase Jenewa, karena wilayah hukum PN Jakarta Pusat tidak meliputi tempat tinggal pemohon kasasi.
Satu hal yang juga menimbulkan pertanyaan adalah PN Jakarta Pusat menerima gugatan Pertamina sedangkan Putusan Majelis Arbitrase yang menjadi objek gugatan belum didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal dengan tegas Pasal 70 UU Arbitrase menyatakan suatu putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan apabila sudah didaftarkan di pengadilan.
Terlepas dari adanya praduga bahwa perkara ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, politik dan faktor non yuris lainnya, ketidakpastian hukum yang tercermin dari putusan ini menunjukkan lemahnya pemahaman para “penegak keadilan” pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia. Seperti dikemukakan Prof. Priyatna Abdurrasyid dalam pernyataannya yang termuat dalam web-site hukum online, bahwa 99 % (sembilan puluh sembilan persen) hakim di Indonesia tidak memahami arbitrase.

E. Kepastian dalam Hukum Kepailitan
Salah satu bidang hukum yang terkait dengan bisnis internasional adalah hukum kepailitan. Pada umumnya secara tradisional hukum kepailitan lebih banyak diperbincangkan dalam konteks hukum nasional. Namun dengan adanya transaksi bisnis internasional, kepastian hukum dalam hukum kepailitan pun menjadi soroton masyarakat bisnis internasional dan dapat mempengaruhi iklim investasi suatu negara.
Tahun 2004 adalah tahun gugatan bagi PT Prudential Life Assurance (Prudential). Perusahaan asuransi kampiun dari Inggris ini harus jatuh bangun menghadapi serangkaian gugatan dan permohonan pailit. Hukumonline mencatat tak kurang dari empat permohonan pailit plus gugatan perdata terhadap perusahaan tersebut. Yang paling menohok tentunya permohonan pailit yang diajukan Lee Bon Siong, WN Malaysia yang pernah menjadi agen Prudential ke pengadilan niaga. Permohonan tersebut berbuntut dengan pailitnya perusahaan yang tergolong „top five‟ di Indonesia. Namun, kepailitan Prudential tidak
32 Komar Kantaatmadja, “Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia” dalam Hendermin Djarab, Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia.

F. Perlu Harmonisasi Hukum
Globalisasi merubah masyarakat dan hukum ada di dalam masyarakat (ibi societas ibi ius). Jika masyarakat berubah, hukum pun akan ikut berubah.35 Dengan demikian globalisasi hukum mengikuti globalisasi bidang lain, khususnya globalisasi ekonomi. Salah satu karakter globalisasi hukum adalah substansi undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas Negara. Globalisasi hukum tersebut dapat terjadi melalui perjanjian-perjanjian dan konvensi internasional, perjanjian privat dan institusi ekonomi baru.36 Disamping perjanjian internasional, perjanjian-perjanjian privat pun dapat mendorong kearah perubahan hukum. Globalisasi telah mempermudah aktifitas manusia melewati batas-batas territorial negaranya. Berbagai transaksi bisnis terjadi dan tidak jarang transaksi yang lahir dari perjanjian privat tersebut adalah jenis transaksi yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum suatu Negara. Namun akibat kepentingan ekonomi, dimana transaksi tersebut telah dikenal luas dalam praktek bisnis masyarakatnya, maka pemerintah melakukan upaya-upaya untuk mempositifkan transaksi-transaksi bisnis tersebut dalam peraturan perundang-undangan.

G. Kesiapan Melakukan Transaksi Bisnis Internasional
Transaksi bisnis internasional dapat menimbulkan masalah yang cukup kompleks, terutama karena perkembangannya yang cukup pesat dan terdapatnya lebih dari sistem hukum nasional dalam satu transaksi. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan yang cukup dalam melakukan transaksi bisnis internasional. Keseiapan ini meliputi seluruh tahapan transaksi, yakni pada preparation phase, performance phase maupun enforcement phase. Pertimbangan yang tidak memadai dalam setiap tahapan tersebut dapat berakibat timbulnya masalah dalam pelaksanaan transaksi yang bersangkutan. Menurut Erman Rajagukguk aspek yang harus diperhatikan pada ketiga tahap transaksi meliputi aspek budaya (cultural aspect), aspek hukum (legal aspect) dan aspek praktis (practical aspect).
Preparation phase. Pada tahap persiapan transaksi, aspek cultural yang perlu diperhatikan meliputi peranan lawyer dalam budaya hukum mitra transaksi. Tidak semua budaya hukum masyarakat internasional meletakkan peran penting bagi lawyer dalam persiapan transaksi. Pada masyarakat Amerika Serikat yang litigious umumnya menempatkan peran strategis dari lawyer dalam fase persiapan transaksi, sebaliknya bagi masyarakat timur seperti Cina, Jepang dan Korea, peran ini tidak terlalu penting. Dari segi hukum, yang harus diperhatikan sebelum melakukan transaksi adalah klausula mengenai pilihan hukum (choice of law, governing law atau applicable law). Pilihan hukum ini sangat penting karena selain dapat menghindari ketidakpastian pengaturan juga akan mengurangi forum shopping jika terjadi permasalahan dalam transaksi. Sebenarnya dalam fase ini peran lawyer sangat penting untuk memberikan nasihat kepada pelaku transaksi mengenai keunggulan dan kelemahan dari hukum yang akan dipilih.

H. Penutup
Kepastian hukum dalam transaksi bisnis internasional sangat mempengaruhi iklim investasi di suatu negara, baik investasi langsung maupun portofolio, baik yang dilakukan dengan modal asing maupun modal dalam negeri. Ketidakpastian dalam pengaturan dan penegakan hukum dalam transaksi bisnis internasional memicu ketidaknyamanan berinvestasi dan ketidakpercayaan terhadap iklim investasi di negara tersebut. Dalam konteks Indonesia, ketidakpastian transaksi bisnis internasional ini masih menjadi bagian dari kendala
investasi. Ketidakpastian ini tidak saja karena ketidakpastian substansi hukum (peraturan perundang-undangan), terutama karena adanya unclearity of status and definition dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena ketidakpastian penerapan peraturan dalam putusan-putusan pengadilan.
Citra hukum yang tidak pasti tidak saja disebabkan oleh kelemahan substansi hukum, tetapi juga karena kelemahan sumber daya manusia dari penegak hukum dan kultur pelaku transaksi yang lebih mengutamakan pertimbangan kepentingan daripada itikad baik dalam melaksanakan kesepakatan transaksi.
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah langkah awal dalam pembaharuan hukum investasi (langsung) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan aktifitas transaksi. UU ini dengan tegas mencantumkan asas kepastian hukum sebagai fundamental yang utama penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. UU bukanlah jawaban akhir dari seluruh problematika investasi di Indonesia tetapi merupakan instrument hukum yang berupaya memberikan bentuk dan arah pembangunan hukum investasi di Indonesia. Oleh karena itu UU ini harus didukung oleh pembaharuan dan pembangunan hukum investasi secara menyeluruh, sistematik dan terintegral. Banyak pekerjaan yang harus segera dilakukan pasca keluarnya UU ini. Dengan demikian, sangat diharapkan Indonesia menjadi tempat yang kondusif bagi investasi, sehingga optimalisasi peran investasi dapat dimanfaatkan dalam pembangunan ekonomi nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional Indonesia sebagai negara berdaulat.

I. Kesimpulan
Kepastian hukum dalam transaksi bisnis sangatlah mempengaruhi keadaan perokonomian di Indonesia karena dengan ketidak pastian dalam pengaturan hukum ekonomi akan membuat ketidaknyamanan pula pada investor di Indonesia. Oleh karena itu kepastian hukum sebaiknya dibuat dengan bijak dan sesuai dengan peraturan yang ada agar perekonomian di Indonesia menjadi lebih baik.

Disusun oleh :
1 Catur Dewi Ratifikasih
2. Farah Fatahiyah
3. Febi Aziza
4. Kiki Ramdanti
5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05

Monopoli Pada Krisis Ekonomi Dalam Era Reformasi

Review Jurnal : KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH MENGATASI KRISIS EKONOMI DALAM ERA REFORMASI

Pengarang : Ginandjar Kartasasmita
Institusi : Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri
Sumber: http://ginandjar.com/public/15KebijaksanaanPemerintahMenghadapiKrisis.pdf

I. Pendahuluan
Sebelum menyampaikan materi ceramah tentang kebijaksanaan pemerintah mengatasi krisis, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan TNI-AD yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk berbicara di depan Apel para Danrem dan Dandim se Indonesia ke-19 yang saat ini tengah berlangsung. Forum ini saya anggap penting, karena dari tema yang diangkat serta topik ceramah yang telah ditentukan, dapat ditangkap kesan bahwa Pimpinan TNI-AD dan jajarannya memiliki responsibilitas yang tinggi terhadap seriusnya permasalahan ekonomi bangsa Indonesia yang sudah lebih dari satu tahun dilanda krisis denganberbagai dampak negatifnya.
Sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan teritorial, kiranya tepat sekali jika TNI-AD memiliki sikap pro aktif terhadap permasalahan ekonomi dewasa ini, karena dampak yang ditimbulkannya berpotensi menjadi gangguan bahkan ancaman terhadap keamanan wilayah Nusantara. Kesamaan visi dari jajaran ABRI dan seluruh komponen bangsa sangat diperlukan, untuk bersama-sama mengatasi krisis tersebut sejalan dengan semangat reformasi yang tengah bergulir saat ini.
Kesempatan yang terbatas ini ingin saya gunakan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi ekonomi nasional yang hingga kini masih memprihatinkan serta berbagai langkah yang telah ditempuh pemerintah dalam upaya mengakhiri krisis secepatnya. Sesuai dengan topik yang telah ditentukan yakni "Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Krisis dalam Era Reformasi", maka tulisan ini akan diawali dengan menyampaikan gambaran yang menyeluruh mengenai kondisi krisis ekonomi yang dihadapi bangsa kita beserta implikasinya. Kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah kebijaksanaan yang telah ditempuh selama ini, baik melalui kebijakan makro maupun mikro, yang arahnya tiada lain agar krisis segera dapat berakhir.
II. Kondisi Krisis Ekonomi yang Dihadapi oleh Bangsa dan Negara Dewasa ini
Sudah lebih dari satu tahun yang lalu, tepatnya sejak Juli 1997 bangsa Indonesia dilanda krisis moneter, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi bahkan berlanjut menjadi krisis kepercayaan. Kondisi krisis dengan berbagai dampak negatifnya tersebut, sama sekali berbeda nuansa dengan masa-masa sebelumnya yang lebih menjanjikan bagi kemajuan bangsa dan negara. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 1969 - 1997 yang tidak pernah mengalami penurunan, bahkan laju pertumbuhannya termasuk paling tinggi di antara negara-negara sedang berkembang. Berdasarkan harga konstan 1983, naiknya Produk Domestik Bruto (PDB) yang dijadikan tolok ukur pertumbuhan ekonomi, selama kurun waktu tersebut meningkat rata-rata sekitar 7 persen, dan pendapatan riil per kapita yang menggambarkan tingkat kemakmuran bangsa naik sebesar 5 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut telah dapat mengentaskan berjuta-juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan serta dapat membuka peluang kerja yang makin luas. Lebih dari itu kapasitas produksi juga berhasil ditingkatkan baik secara fisik, sarana dan prasarana produksi, maupun dalam bentuk meningkatnya jumlah dan kualitas sumber daya manusia. Khususnya dalam hal sumber daya manusia, peningkatan jumlah dan kualitasnya, antara lain, tercermin dari meningkatnya angka partisipasi di berbagai jenjang pendidikan, serta naiknya tingkat pendidikan, keterampilan dan penguasaan teknologi para pekerja. Selain itu juga kesejahteraan penduduk telah meningkat, antara lain, tercermin dari meningkatnya usia harapan hidup atau menurunnya tingkat mortilitas yang disertai dengan menurunnya tingkat kelahiran yang disebabkan oleh keberhasilan program keluarga berencana dan makin tingginya tingkat pendidikan perempuan. Bahkan, sejak tahun 1980-an penurunan tingkat kelahiran tersebut cenderung lebih cepat daripada penurunan tingkat mortilitasnya, sehingga laju pertumbuhan penduduk cenderung menurun.
Dalam kurun waktu yang lebih dini, yaitu 1985 - 1997 tampak perekonomian Indonesia mampu tumbuh dengan rata-rata 7,5 persen per tahun dan pendapatan per kapita tumbuh dengan rata-rata 5,8 persen per tahun, sedangkan laju inflasi dapat terkendali pada tingkat kurang dari 9 persen. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk miskin berhasil diturunkan hingga mencapai 22,5 juta orang atau tinggal sekitar 11 persen pada tahun 1996. Sementara itu angkatan kerja yang berkualitas makin banyak dapat ditampung dalam kegiatan formal sejalan dengan meningkatnya kapasitas produksi. Tambahan pula depresiasi rupiah terhadap mata uang asing (dolar) relative rendah dan defisit transaksi berjalan mampu diimbangi dengan surplus transaksi modal, sehingga cadangan devisa terus meningkat. Bahkan selama periode 1993/94 - 1996/97 anggaran belanja negara berhasil mencapai surplus. Semua keberhasilan tersebut tidak terlepas dari efektivitas kebijakan deregulasi yang ditempuh secara berlanjut. Namun di balik keberhasilan yang telah dicapai bangsa Indonesia sampai dengan pertengahan tahun 1997 tersebut, telah terjadi pula proses melemahnya daya saing perekonomian nasional, yang diakibatkan, antara lain, oleh lemahnya kinerja dunia usaha swasta dan lembaga perbankan, termasuk kelemahan dalam hal pengawasan sistem keuangan; peningkatan upah/gaji yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas kerja; dan bermunculannya praktek monopoli dan oligopoli. Keseluruhan faktor tersebut pada gilirannya telah mengakibatkan bekerjanya perkonomian menjadi tidak efisien. Kondisi yang demikian telah menjadikan perkonomian Indonesia kurang mampu bereaksi terhadap berbagai perubahan yang terjadi di pasar internasional.
Krisis ekonomi terjadi di awali oleh melemahnya secara drastis nilai rupiah, seperti juga nilai hampir semua mata uang regional lainnya. Berbagai kelemahan yang telah dikemukakan di atas telah memperberat krisis ekonomi di Indonesia, yang dipacu pula oleh situasi politik yang tidak menentu. Kondisi demikian masih diperburuk lagi oleh berlangsungnya kemarau panjang sehingga produksi pangan menurun. Pada saat yang bersamaan harga migas telah menurun cukup tajam di pasar dunia dan berdampak negatif pada penerimaan negara dan devisa dari ekspor migas. Implikasi dari berbagai kelemahan tersebut adalah : 1) aliran modal berbalik arah dari aliran masuk (capital inflow) menjadi aliran keluar (capital outflow); 2) terjadinya kontraksi PDB yang bersumber dari menurunnya permintaan domestik; dan 3) meningkatnya jumlah
pengangguran terbuka dan setengah penganggur. Ketiga hal tersebut pada akhirnya telah
menurunkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama dari kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah dan tetap. Pendapatan yang sudah rendah tersebut masih harus berhadapan dengan laju inflasi yang sangat tinggi yang dipicu oleh tingginya depresiasi rupiah. Interaksi antara pendapatan rendah dengan inflasi yang tinggi tersebut pada gilirannya telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin yang semula telah berhasil diturunkan secara cukup tajam, kini meningkat kembali dalam jumlah yang semakin besar. Akibatnya tingkat partisipasi pendidikan pada berbagai jenjang pendidikan dan derajad kesehatan yang sebelumnya terus diupayakan peningkatannya khususnya bagi golongan masyarakat miskin, kini menjadi terganggu.
III. Kebijaksanaan Pemerintah Mengatasi Krisis
Krisis ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana telah diuraikan di atas, secara serius telah diupayakan untuk diatasi dengan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik yang bersifat makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi. Kedua tugas tersebut sangat penting antara lain karena:
(1) Meluasnya pengangguran akibat krisis yang terjadi di satu pihak dapat memicu timbulnya kerusuhan sosial, sementara di lain pihak apabila berlangsung lama dapat menurunkan daya saing angkatan kerja, karena mereka tidak mampu lagi menguasai perkembangan ketrampilan baru yang sangat diperlukan.
(2) Kapasitas produksi baik pada industri pengolahan maupun sarana dan prasarana pengangkutan, komunikasi, serta energi yang menganggur tanpa pemeliharaan yang baik akan menjadi rusak.
(3) Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya secara berlanjut, pada gilirannya akan menambah jumlah penduduk miskin karena daya beli mereka akan terus merosot.
(4) Kemunduran dalam pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan terutama bagi putra-putri penduduk berpendapatan rendah, akan mengganggu upaya pemberdayaan kelompok penduduk tersebut di masa datang.
1. Kebijaksanaan Ekonomi Makro
Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi deficit anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri.
Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan menahan naiknya permintaan aggregat, juga untuk mendorong masyarakat meningkatkan tabungan di sektor perbankan. Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.
2. Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah, ditujukan, antara lain,
a) untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program
penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
b) menyehatkan sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan;
c) merestrukturisasi hutang luar negeri;
d) mereformasi struktural di sektor riil; dan
e) mendorong ekspor.
a) Jaring Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini berbagai langkah telah dilakukan untuk menambah alokasi anggaran rutin (khususnya untuk subsidi bahan bakar minyak, listrik dan berbagai jenis makanan kebutuhan pokok), mempertajam prioritas alokasi dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan.
Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap program dan kegiatan proyek
pembangunan, antara lain, dengan:
1) menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak;
2) melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan
dan kesehatan;
3) memperluas penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan dan irigasi, yang dapat memperlancar kegiatan ekonomi; dan
4) memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus meningkatkan partisipasi peranan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.
Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan kegiatan proyek pembangunan, total anggaran dalam revisi APBN untuk sektor pertanian, pengairan, perdagangan dan pengembangan usaha, pembangunan daerah, pendidikan, kesehatan, perumahan dan permukiman, dalam tahun anggaran 1998/99 tidak hanya mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan APBN sebelum revisi, tapi secara riil juga lebih besar dari realisasi anggaran pembangunan tahun 1997/98, sedangkan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor lainnya secara riil mengalami penurunan.
Implikasi dari pelaksanaan program jaring pengaman sosial yang disertai langkah
penyesuaian untuk mempertajam prioritas alokasi dan peningkatan efisiensi anggaran
pembangunan, pemerintah tidak dapat menghindari terjadinya defisit yang sangat besar,
lebih kurang 8,5 persen terhadap PDB, dalam revisi APBN 1998/99. Hal ini disebabkan oleh karena penerimaan dalam negeri dalam kondisi kontraksi PDB serta menurunnya harga migas di pasar internasional sangat sulit untuk dapat ditingkatkan, walaupun sudah termasuk adanya divestasi dalam BUMN.
Pemerintah sangat menyadari bahwa defisit APBN sebesar 8,5 persen terhadap PDB tidak sustainable, itulah sebabnya akan diupayakan untuk menurunkannya minimal menjadi setengahnya pada tahun 1999/2000 dan mengembalikan anggaran menjadi berimbang dalam jangka waktu 3 tahun. Sehubungan dengan ini akan terus dikaji langkah-langkah untuk menetapkan pemberian subsidi yang lebih tepat dan pelaksanaan program lain dalam kerangka jaring pengaman sosial. Pemantauan dan evaluasi program penciptaan lapangan kerja serta program di bidang pendidikan dan kesehatan akan terus disempurnakan agar dapat dipastikan bahwa yang memperoleh manfaat terutama adalah penduduk miskin. Di samping itu peningkatan kinerja penerimaan negara dan manajemen pengeluaran negara akan merupakan unsur terpenting dalam upaya menekan defisit anggaran. Dalam kaitannya dengan upaya memperkuat manajemen pengeluaran, akan disusun kerangka prioritas dalam pengeluaran negara yang lebih jelas, persiapan penyusunan anggaran yang lebih efisien, kontrol manajemen kas, serta penyusunan laporan yang komprehensif, akurat dan tepat waktu.
Penerimaan negara dari perpajakan diupayakan untuk ditingkatkan dengan menghilangkan berbagai bentuk pengecualian terhadap pengenaan pajak pertambahan nilai; meningkatkan nilai jual objek pajak atas PBB (pajak bumi dan bangunan) sektor perkebunan dan kehutanan serta meningkatkan pendapatan pajak bukan migas melalui peningkatan cakupn audit tahunan, penyempurnaan program audit PPN dan peningkatan penerimaan tunggakan pajak. Sementara itu upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak mencakup pengumpulan dana oleh pemerintah di luar anggaran serta meningkatkan kinerja BUMN dengan privatisasi dan peningkatan dalam manajemennya.
b) Penyehatan Sistem Perbankan
Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, langkah-langkah mendasar dari kebijakan penyehatan dan restrukturisasi perbankan pada dasarnya terdiri dari dua kebijakan pokok, yaitu:
1. Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna mendukung
pemulihan dan kebangkitan perekonomian nasional melalui:
a. program peningkatan permodalan bank,
b. penyempurnaan peraturan perundang-undangan, antara lain, mencakup:
i) perizinan bank yang semula merupakan wewenang Departemen Kuangan dialihkan kepada Bank Indonesia.
ii) investor asing diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemegang saham bank.
iii) rahasia bank yang semula mencakup sisi aktiva dan pasiva diubah menjadi hanya mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya.
c. penyempurnaan dan penegakkan ketentuan kehati-hatian, antara lain:
i) Bank-bank diwajibkan untuk menyediakan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8% pada akhir tahun 1999, dan 10% pada akhir tahun 2000, sebagaimana telah diumumkan pemerintah pada bulan Juni 1998.
ii) Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pemilik dan pengurus bank yang terbukti telah melanggar ketentuan yang berlaku.
2. Kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan perbankan yang telah terjadi dengan
mempercepat pelaksanaan penyehatan perbankan.
Langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi, membangun kembali sistem perbankan yang sehat, dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, antara lain, meliputi: 1) pemberian jaminan pembayaran kepada deposan dan kreditur; 2) pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk melakukan restrukturisasi bank-bank yang kurang atau tidak sehat; 3) melakukan due diligence terhadap bank-bank yang diambil alih pengelolaannya dan terhadap bank-bank lainnya; dan 4) menyusun RUU perbankan yang akan mengatur kembali ketentuan mengenai kerahasian bank, pengawasan, pemilikan investor asing, dan kedudukan BPPN serta bank sentral.
Dengan kebijaksanaan tersebut di atas diharapkan kinerja perbankan nasional menjadi lebih sehat dan efisien sehingga terpercaya serta mampu menjadi bank yang dikelola secara profesional terutama dalam menghadapi era globalisasi yang menuntut daya saing tinggi.
c) Restrukturisasi Hutang Luar Negeri
Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank yang besar telah menjadi penyebab terpenting terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Hutang-hutang tersebut dalam tahun 1998/1999 akan jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Padahal melemahnya nilai tukar rupiah yang terus berlanjut akan semakin memperburuk kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu untuk mengurangi permintaan terhadap mata uang asing dan sekaligus memberi kesempatan kepada para debitur untuk menyelesaikan hutang-hutangnya, dalam kesepakatan Frankfrut tanggal 4 Juni 1998, telah disusun kerangka restrukturisasi hutang dunia usaha, skema penyelesaian hutang antar bank dan pengaturan tentang fasilitas pembiayaan perdagangan. Dalam kesepakatan tersebut para kreditur dan debitur secara sukarela dapat menyepakati jumlah hutang dan perubahan pinjaman menjadi equity, dan ada persyaratan minimal masa pengembalian 8 tahun termasuk masa tenggang 3 tahun, maka dilihat dari upaya penguatan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, berarti restrukturisasi hutang swasta dan perbankan tersebut minimal dapat mengurangi permintaan valuta asing selama 3 tahun. Untuk mendorong penyelesaian hutang swasta telah diluncurkan Prakarsa Jakarta yang memungkinkan para kreditur dan debitur menyelesaikan hutang piutang di luar pengadilan niaga, yaitu melalui restrukturisasi modal perusahaan.
Restrukturisasi hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank di Indonesia serta penambahan dana luar negeri baik yang berasal dari CGI maupun tambahan dana dari IMF telah dapat meningkatkan sisi penyediaan valuta asing. Sebagai konsekuensi interaksi antara naiknya persediaan dengan turunnya permintaan valuta asing tersebut diharapkan dapat menguatkan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya juga akan menurunkan laju inflasi. Untuk kepentingan itulah dan untuk menarik modal asing masuk ke Indonesia maka pemerintah hingga saat ini masih mempertahankan kebijaksanaan lalulintas devisa dengan sistem devisa bebas. Sementara itu untuk mengurangi tekanan terhadap keuangan negara dan neraca pembayaran luar negeri, melalui Paris Club, Indonesia telah melakukan penjadwalan kembali hutang pemerintah untuk tahun 1998/1999 - 1999/2000. Dalam rangka itu pemerintah telah berhasil menunda pembayaran cicilan pokok sebesar US dollar 4,2 miliar.
d) Reformasi Struktural di Sektor Riil
Agar perekonomian, terutama sektor riil dapat berkembang lebih efisien, pemerintah
melancarkan berbagai program reformasi struktural. Reformasi struktural di sektor riil mencakup: a) penghapusan berbagai praktek monopoli, b) deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dalam dan luar negeri dan bidang investasi, dan c) privatisasi BUMN.
Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain, adanya praktekpraktek monopoli di berbagai bidang usaha. Dengan praktek-praktek monopoli telah terjadi konsentrasi kekuatan pasar hanya pada satu atau beberapa pelaku usaha, sehingga kegiatan produksi, distribusi menjadi tidak efisien dan secara lebih luas daya saing perekonomian nasional menjadi lemah. Kebijaksanaan penghapusan monopoli yang telah dan akan dilakukan, antara lain adalah: penghapusan monopoli yang dilakukan oleh Bulog dalam mengimpor dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, gula pasir, terigu, dan jagung, sehingga Bulog hanya akan menyalurkan beras; penghapusan BPPC; penghapusan kegiatan usaha yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal, monopoli produksi minyak pelumas oleh Pertamina dan lain-lain. Dalam upaya menghapus monopoli tersebut pemerintah telah mengajukan ke DPR RUU tentang persaingan yang sehat. Dengan adanya penghapusan monopoli diharapkan ekonomi biaya tinggi bisa dihindarkan sehingga bisa meningkatkan daya saing perekonomian nasional. Dengan hapusnya monopoli, masyarakat juga diuntungkan sebab akan memperoleh barang dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah. Dalam kaitannya dengan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, antara lain, mencakup:
a) mencabut peraturan yang membatasi kepemilikan investor asing sampai 49 persen dari perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar pada pasar modal
b) merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha yang tertutup bagi investor asing
c) mencabut pembatasan investasi asing dalam perkebunan kelapa sawit, dalam perdagangan eceran dan dalam perdagangan besar
d) mencabut ketentuan tataniaga yang bersifat restriktif untuk pemasaran semen, kertas dan kayu lapis
e) menghapus harga patokan semen (HPS)
f) menerapkan perdagangan bebas lintas batas Dati I dan Dati II untuk semua komoditas termasuk cengkeh, kacang mete dan vanili dan mencabut kuota yang membatasi penjualan ternak.
e) Promosi Ekspor Dalam situasi permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi ekspor. Tambahan pula dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tinggi dewasa ini, Indonesia makin memiliki daya saing dalam barang ekspor yang padat karya dan padat kekayaan alam. Namun peningkatan ekspor dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala, yakni keengganan pihak luar negeri membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan baku, serta hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ekspor, seperti misalnya operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan administrasi perpajakan.
IV. Pertumbuhan Ekonomi Mendatang Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945
Beberapa hal penting yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 dan perlu dijadikan acuan dalam membangun ekonomi nasional di masa depan, adalah mengenai demokrasi ekonomi yang esensinya produksi dikerjakan oleh semua pelaku ekonomi, mengutamakan kemakmuran masyarakat, serta penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajad hidup orang banyak dan penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam rangka merealisasikan amanat pasal 33 UUD 1945 tersebut, pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi. Hal ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang hanya mengandalkan peranan dominan dari unit usaha besar dan kurang mengikutsertakan peranan usaha menengah, kecil dan koperasi ternyata tidak menghasilkan fondasi ekonomi yang kokoh dan tidak mengarah kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu untuk membangun kembali perekonomian nasional, perlu dirumuskan kebijakan ekonomi yang lebih memberikan kesempatan berusaha bagi pengusaha menengah, kecil dan koperasi tanpa harus menghambat perkembangan unit usaha besar.
Upaya untuk membangun kembali jaring distribusi perdagangan dalam negeri ditempuh
dengan meningkatkan peran usaha kecil, menengah dan koperasi mengalami peningkatan, baik dalam pengadaan maupun penyaluran bahan baku, bahan pokok dan bahan kebutuhan masyarakat lainnya.
Bagi usaha kecil dan mengengah dialokasikan kredit dengan tingkat bunga subsidi sekitar 15 persen. Dana tersebut semula dibiayai bersama antara Bank Indonesia dan bank pelaksana dengan perbandingan 65 dan 35 persen. Tetapi sejak Juni 1998 dana kredit tersebut seluruhnya berasal dari Bank Indonesia. Sementara itu dalam upaya mendorong sektor keuangan yang sehat dan efisien juga diberikan perhatian khusus kepada Bank Perkreditan Rakyat yang selama ini telah banyak membiayai usaha kecil. Sebagaimana diketahui bahwa BPR telah menjangkau usaha kecil sampai ke daerah pedesaan, sehingga dinilai sangat strategis dalam menggerakkan perekonomian masyarakat pedesaan melalui pengembangan usaha kecil.
Di samping dukungan dana, keberpihakan pemerintah kepada usaha kecil, menengah dan koperasi juga diupayakan melalui penyusunan RUU tentang Larangan Praktek Monopoli, yang saat ini telah disampaikan kepada dan sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dianggap penting dan mendesak karena beberapa pertimbangan, antara lain:
1) perlunya mengarahkan terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
2) demokrasi ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan distribusi barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efisien dan efektif, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar; dan
3) setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam aturan persaingan yang sehat dan wajar.
V. Penutup
Dengan berbagai upaya tersebut diharapkan kepercayaan kepada ekonomi kita akan pulih 
dan ekonomi kita akan segera tumbuh kembali. Diharapkan pada tahun 2000 selambat-lambatnya kita telah memperoleh kembali pertumbuhan positif. Dalam lima tahun, Insya Allah, ekonomi kita telah sepenuhnya pulih kembali dan bahkan akan tumbuh lebih kuat lagi karena landasannya telah lebih kukuh.
Demikianlah gambaran dan pokok-pokok kebijakan ekonomi dalam upaya untuk mengatasi krisis dalam era reformasi yang saat ini terus bergulir. Berbagai kebijakan ekonomi makro dan mikro tersebut tidak akan mencapai hasil yang diharapkan apabila tidak mendapat dukungan dari semua pihak.

Disusun oleh :
1. Catur Dewi Ratifikasih
2. Farah Fatahiyah
3. Febi Aziza
4. Kiki Ramdanti
5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05

Sabtu, 02 Juni 2012

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)

Review Jurnal : Prospek Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam Kesenian Tradisional di Indonesia
Pengarang : Agnes Vira Ardian

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis serta dalam rangka memberikan perlindungan bagi kesenian tradisional dari pembajakan oleh negara lain. 
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif. Spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah bersifat deskriptif analitis. Jenis datanya berupa data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan atau dokumentasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah analisis data kualitatif kemudian  disimpulkan menggunakan logika deduksi untuk membangun sistem hukum
positif.

PENDAHULUAN
HKI terkait dengan kreativitas manusia, dan daya cipta manusia dalam
memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah kehidupannya, baik dalam seni,
ilmu pengetehuan dan teknologi maupun produk unggulan suatu masyarakat. Oleh
karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan
eksistensi HKI sangat penting. Dimana kegiatan penelitian ini tidak dapat
menghindar dari masalah HKI apabila menginginkan suatu penghormatan hak
maupun inovasi baru, dan orisinalitasnya.

Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh
berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek
lainnya. Akan tetapi, aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan
bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi
berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual
tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual,
sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara
pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.

PEMBAHASAN
Kebudayaan (seni dan budaya) semakin disadari sebagai sebuah fenomena kehidupan manusia yang paling progresif, baik dalam hal pertemuan dan pergerakan manusia secara fisik ataupun ide/gagasan serta pengaruhnya dalam bidang ekonomi. Karenanya banyak negara yang kini menjadikan kebudayaan (komersial atau non komersial) sebagai bagian utama strategi pembangunannya. Selanjutnya, dalam jangka panjang akan terbentuk
sebuah sistem industri budaya. Dimana kebudayaan bertindak sebagai faktor utama pembentukan pola hidup, sekaligus mewakili citra sebuah komunitas. Di Indonesia, poros-poros seni dan budaya seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Denpasar (Bali) telah menyadari hal ini dan mulai membangun sistem industri budayanya masing-masing. Meski dalam beberapa kasus, industri budaya lebih merupakan ekspansi daripada pengenalan kebudayaan, tetapi dalam beberapa pengalaman utama, industri budaya justru merangsang kehidupan masyarakat pendukungnya.

Industri budaya akan merangsang kesadaran masyarakat untuk melihat kembali dirinya sebagai aktor penting kebudayaannya. Mendorong perhatian masyarakat terhadap posisi dirinya dalam peradabannya. Selanjutnya diharapkan dapat berkembang menjadi ajang para seniman dan masyarakat untuk bereksplorasi dan berkompetisi dalam kreatifitas menerjemahkan tandatanda zaman. Dimana seharusnya industri budaya menjadi wahana masyarakat lokal untuk menegaskan identitas budayanya berhadapan dengan budaya
global. Industri yang mampu menyerap interaksi antara seniman, budayawan, intelektual, pengusaha dan masyarakat secara luar biasa baik dalam intensitas maupun kualitasnya. Kasus industri musik dapat dijadikan contoh, dalam hal produk material industri budaya, yaitu betapa terintegrasinya produk industri tersebut dengan pasar, telah membentuk industri budaya yang kokoh dan berkelanjutan.

Kebudayaan Indonesia merupakan salah satu kompleksitas budaya di dunia yang memiliki ciri dan karakter khas, dimana masyarakat menjadi elemen pendukung utama. Kebudayaan dengan sendirinya telah terintegrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, baik dalam pola hidup secara sosial, ekonomi, politis, pemerintahan tradisional, dan lain-lain. Meski demikian, dengan potensi budaya yang sangat potensial dan integritas masyarakat serta budaya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, ternyata sangat sulit sekali membangun sebuah sistem industri budaya yang akan berfungsi mendukung energi kreatif masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Pasal 10 Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Negara Indonesia memegang hak cipta atas karya-karya anonim, dimana karya tersebut merupakan bagian dari warisan budaya komunal maupun bersama. Contoh dari karya-karya tersebut adalah folklore, cerita rakyat, legenda, narasi sejarah, komposisi, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian dan kaligrafi.

Konsep perlindungan terhadap HKI pada dasarnya adalah memberikan hak monopoli, dan dengan hak monopoli ini, pemilik HKI dapat menikmati manfaat ekonomi dari kekayaan intelektual yang didapatnya. Perlu diakui bahwa konsep HKI yang kita anut berasal dari Barat, yaitu konsep yang didasarkan atas kemampuan individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Pemberian hak monopoli kepada individu dan perusahaan ini, sering bertentangan dengan kepentingan publik (obat, makanan, pertanian). Di samping itu, berbagai perundangan HKI pada kenyataannya tidak dapat melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge and genius). Pengetahuan tradisional yang berkembang di negara seperti Indonesia, berorientasi kepada komunitas, bukan individu. Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan secara khusus (obat, herbs, lingkungan hidup). Dimasukannya masalah HKI kedalam bagian dari GATT melalui TRIPS, menambah kesenjangan dalam pemanfaatan kekayaan intelektual antara negara maju dan negara industri baru/berkembang.

Seni dan budaya tidaklah statis, melainkan dinamis dan secara kontinu terus dimanfaatkan oleh masyarakat hingga kini dengan perubahan dan peningkatan. Misalnya adalah motif batik. Dalam kebudayaan Jawa telah mentradisi berupa sejumlah motif dasar, misalnya yang disebut truntum, semèn, kawung, parang, dll. Demikian juga dalam kain tenun seperti songket (Sumatera), lurik (Jawa), dll. Demikian juga dalam bidang kuliner, dikenal makanan “Coto Makassar” (Makasar), “Empe-empe” (Palembang), “Gudeg”

Karya seni tradisional ini selain memiliki nilai seni dan estetika juga memiliki nilai ekonomis serta yang sering tidak diketahui bahwa di dalamnya terkandung hak cipta yang dilindungi undang-undang. Sangat ironis bahwa banyak pencipta yang tidak memahami bahwa ia memiliki hak cipta atas karya cipta yang dihasilkan. Kebanyakan pencipta cukup puas jika karya ciptanya disukai banyak orang dan laku dijual, tanpa mengetahui dan memikirkan bahwa pencipta memiliki hak cipta yang perlu dilindungi dari eksploitasi secara ilegal oleh pihak yang tidak berhak. Sehingga dengan penelitian ini diharapkan adanya penghargaan terhadap pencipta karya seni tradisional melalui perolehan dan pemilikan haknya secara layak serta lebih lanjut akan berdampak lebih luas bagi penghargaan karya seni tradisional di dunia internasional. Dan lebih utama
diharapkan dapat diciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan mencipta, sehingga secara stimulan dapat memberi pengaruh bagi tumbuh suburnya kreativitas masyarakat yang pada gilirannya dapat menciptakan stimulasi yang signifikan bagi lahirnya ciptaan-ciptaan baru yang beragam, berkualitas serta memberi manfaat bagi penggayaan khasanah kehidupan bangsa.

Sebelum dibahas mengenai perlindungan hukum karya seni tradisional dan upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran pencipta karya seni tradisional atas hak ciptanya, perlu dibahas apa yang dimaksud karya seni tradisioinal dan pencipta. Menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) karya seni tradisional diartikan sebagai pernyatan ekspresi estetika bangsa Indonesia yang khas dan asli yang secara sosial dipantulkan dalam wujud yang nyata maupun hasil renungan dan kreasi\ bangsa baik komunal maupun pribadi. Karya seni tradisional ini antara lain bisa berupa seni rupa (seni ukir, seni pahat, seni patung, seni lukis, kaligrafi), kerajinan tangan, seni Batik, seni tenun, seni pertunjukan (seni tari, seni musik, seni teater) dan seni arsitektur.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum terhadap sistematik hukum. Penelitian terhadap sistematik hukum dilandasi dengan pengertian-pengertian dasar sistem hukum, yakni : masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan obyek hukum. Oleh karena itu, berikut akan dijabarkan mengenai masyarakat hukum,subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan obyek hukum mengenai perlindungan hukum karya senitradisional dalam sistem peraturan perundang-undangan, dimana karya senitradisional sebagai suatu ciptaan masuk dalam lingkup perlindungan hak cipta.

Masalah yang menyangkut komponen seniman yaitu kendala budaya. Seniman di Indonesia pada umumnya bersikap religius dan tradisional. Mereka menganggap kemampuan kesenian yang dimikinya merupakan pemberian Tuhan dan warisan tradisi yang diturunkan oleh lingkungan budaya kolektivisme. Sementara itu, konsep HKI datang dari budaya Barat, yang bertitik tolak pada pengakuan kepada hak-hak individu dalam tradisi falsafah kapitalisme. Di samping itu, tentu saja pengetahuan seniman tentang hukum, khususnya hukum yang menyangkut hak cipta, sangatlah minim. Terutama para seniman tradisional, mereka hampir dapat dikatakan “buta hukum” hak cipta. Oleh sebab itu, sosialisasi HKI di kalangan seniman menjadi sangat penting artinya dan membutuhkan kiat tersendiri, mengingat seniman merupakan “masyarakat” yang punya kepribadian unik. Hal yang terakhir adalah kendala dari komponen masyarakat. Atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya UU Hak Cipta. Jika seorang warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, mereka akan kena sanksi hukum meskipun mereka menyatakan bahwa tidak tahu perbuatannya dilarang.
  
KESIMPULAN
Dari bab pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia, dibagi menjadi dua yaitu :
a. Perlindungan Preventif
Perlindungan preventif hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia terdapat dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Pasal 10 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berjudul ‘Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui’, menetapkan :
(9) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
(10) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(11) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi
yang terkait dalam masalah tersebut.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas waktu (Pasal 31 ayat (1) huruf a).

b. Perlindungan Represif
Perlindungan represif hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia terdapat juga dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pencipta atau ahli warisnya atau pemegang hak cipta, dimana dalam hal kesenian tradisional hak ciptanya dipegang oleh Negara, berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan pencipta atau ahli warisnya yang tanpa persetujuannya itu diatur dalam Pasal 55 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:
1) Meniadakan nama pencipta pada ciptaan itu;
2) Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
3) Mengganti atau mengubah judul ciptaan; atau
4) Mengubah isi ciptaan.

2. Prospek hukum hak kekayaan intelektual di Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi kesenian tradisional dari pembajakkan oleh negara lain adalah :
a. Pembentukan perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal;
b. Pelaksanaan dokumentasi sebagai sarana untuk defensive protection dengan melibatkan masyarakat atau LSM dalam proses efektifikasi dokumentasi dengan dimotori Pemerintah Pusat dan Daerah;
c. Menyiapkan mekanisme benefit sharing yang tetap.

Disusun oleh :
  1. Catur Dewi Ratifikasih
  2. Farah Fatahiyah
  3. Febi Aziza
  4. Kiki Ramdanti
  5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05




PENGERTIAN HUKUM DAN HUKUM EKONOMI


Review Jurnal : Corporate Social Responsibility (CSR) Sebagai Instrumen Hukum Ekonomi Di Era Globalisasi
Pengarang : Nur Sulistyo B Ambarini
Sumber : Hukum Perusahaan Indonesia Bagian 1, Drs.C.S.T. Kansil., S.H., PTt.Pradya Paramita Jakarta, 2005
Aspek Hukum dalam Ekonomi Global Edisi Revisi, Ade Maman Suherman, Ghalia Indonesia, 2005

ABSTRAK
Globalisasi di dunia mempunyai pengaruh cukup besar dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Salah satu trabd globalisasi yang berpengaruh terhadap perkembangan hukum ekonomi di Indonesia adalah tanggung jawab sosial perusalaah atau Corporate Social responsibility (CSR). CSR merupakan suatu konsep dalam kegiatan ekonomi berkaitan dengan perwujudan konsep pembangunan berkelanjutan, pengaturan CSR sendiri mempunyai pengaturan dalam perundang – undangan. CSR diharapakan dapat menjadi sarana bagi perusahaan atau etnis bisnis, dalam mejuwudkan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

PENDAHULUAN
Dalam hal ini CSR bermaksud mengupayakan perlindungan terhadap masyarakat, sumberdaya lingkungan dari praktek-praktek bisnis yang merugikan, di samping itu juga menjamin kinerja perusahaan dalam perekonomian secara seimbang demi tercapainya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat.

PEMBAHASAN
Pada pokoknya hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memakasa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yakni pertairan-peraturan yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilonya tindakan yaitu dengan hukuman tentunya. Sumber hukum formal ada lima macam, yaitu; undang-undang, kebiasaan, kaoutusan hakim(yurisorudensi), perjanjian internasional(traktat), pedapat para sarjana hukum(doktrin).

Dalam pendahuluan sudah dijelaskan apa itu hukum ekonomi, untuk memfokuskan hukum ekonomi, berikut suatu defifni dari Sunaryati Hartono yang mengemukakan bahwa hukum ekonomi merupakan penjabaran hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial, sehingga hukum ekonomi mempunyai dua aspek, yaitu:
· Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi, dalam arti peningkatan kehidupan ekonomi secara keseluruhan.
· Aspek pengturan usaha-usaha pembagian hasilpembangunan ekonomi secara merata si anatar seluruh lapisan masyarakat., sehingga setiap warga dapat menikmtai hasil pembangunan ekonomi sesuai debgan sumbangan.

Sunaryati Hartono menyatakan, bahwa hukum ekonomi Indonesia dapat dibedakan menjadi dua :
1. Hukum ekonomi pembangunan, meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pegembangan kehidupan ekonomi Indoesia secara nasional
2. Hukum ekonomi sosial, menyangkut peraturan pemikiran hukum mengenai cara-cara pemabgian hasil pembangunan ekonomi nasiolanl secara adil dan merata.

KESIMPULAN
Jadi, dalam hukum ekonomi hubungan sebab akibat tidak dapat lepas dan itu berlangsung dalam kegiatan ekonomi, contohnya seperti harga bahan bakar minyak (BBM) naik, maka secara tidak langsung harga barang yang lain akan naik juga. Dari situ dapat dilihat hubunganh sebab akibatnya, dampak dari kenaikan BBM sangat berpengaruh dengan harga barang yang lainnya.

Disusun Oleh :
  1. Catur Dewi Ratifikasih
  2. Farah Fatahiyah
  3. Febi Aziza
  4. Kiki Ramdanti
  5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05

Jumat, 01 Juni 2012

Fenomena Hukum Dalam Aspek Ekonomi Ditinjau Dari Segi Sosiologi Hukum


Review Jurnal : Fenomena Hukum Dalam Aspek Ekonomi Ditinjau Dari Segi Sosiologi Hukum
Pengarang : Tri Hermintadi, SH
Institusi : Mahkamah Agung RI

A. PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial, manusia satu sama lain saling membutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup merupakan fungsi dari ekonomi. Ekonomi sebagaimana diartikan dalam kamus Umum Bahasa Indonesia yaiu Ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barangbarang serta kekayaan (seperti hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan). Juga dikatakan pemanfaatan uang, tenaga, waktu yang berharga. Kebutuhan hidup dari waktu kewaktu semakin berkembang seiring dengan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembangunan sektor ekonomi agar ketersediaan produk/barang seimbang dengan daya beli masyarakat. Pembangunan merupakan proses, perbuatan, cara membangun3. Jadi pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai proses dan cara membangunan produksi, distribusi, dan pemanfaatan uang, tenaga dan waktu yang berharga. Kemudian pertanyaan muncul, yaitu apakah tujuan dari pembangunan ekonomi, dan bagaimana kondisi ekonomi saat ini ? Kedua pertanyaan itu perlu mendapatkan jawaban sebelum uraian-uraian lain dilakukan.

1. Tujuan Pembangunan Ekonomi
a. Memaksimalkan tenaga kerja dan output,
b. Pertumbuhan ekonomi;
c. Tingkat harga yang stabil;
d. Satabilitas neraca pembayaran4
Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

2. Kondisi Ekonomi Saat Ini di Masyarakat
Manusia pada abad ke 21 sudah mencapai puncak peradaban dimana kebutuhan bukan hanya memenuhi kebutuhan dasar, melainkan sudah sampai kepada pelayanan kesenangan yang berkualitas. Hal itu dapat dilihat pada berbagai sector ekonomi seperti sektor pertanian, industri dan perdagangan. Jadi, secara umum kondisi ekonomi saat ini telah mencapai kemajuan yang sangat jauh walaupun kemungkinan untuk lebih maju masih sangat terbuka.

B. MANUSIA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN
Ketertiban manusia sebagai agen dalam pembangunan ekonomi memerlukan ilmu pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mengisi posisi sebagai produsen dan distributor dalam memanfaatkan uang, tenaga dan waktu yang berharga secara efektif. Dalam melaksanakan usahanya itu, manusia sebagai produsen mempertimbangkan masalah kuantitas, kualitas dan efesiensi. Masalah kuantitas sangat penting dalam mengatasi masalah kelangkaan agar terpenuhi jumlah yang diminta atau dibutuhkan oleh masyarakat. Masalah kualitas berkaitan dengan tingkat baik-buruk atau kadar barang yang dibuat oleh produsen. Apabila masalah kuantitas dan kualitas tidak dikelola sebagaimana yang disepakati, maka dapat menimbulkan masalah hukum. Sedangkan distributor mempertimbangkan masalah alokasi yang tepat yaitu penentuan banyaknya barang yang disediakan untuk suatu wilayah pemasaran. Selain itu, distributor juga tetap memperhatikan masalah kuantitas dan kualitas apabila tidak sesuai dengan yang disepakati maka menimbulkan masalah hukum.

C. HUKUM SEBAGAI AGEN PENGENDALIAN SOSIAL YANG HIDUP DAN BERKEMBANG DALAM MASYARAKAT
Dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembangunan ekonomi, manusia bisa alpa dari masalah etika dan perbuatan sehingga dibutuhkan cara untuk menghindarinya. Secara harfiah pengendali yaitu orang atau badan yang melakukan pengendalian. Pengendalian adalah proses atau cara mengendalikan yaitu agen adalah sebagai badan yang memperoleh kepercayaan untuk melakukan pengendalian atau pengawasan atas kemajuan.
Ternyata para pakar dibidang ilmu hukum pun belum mempunyai kesepakatan mengenai rumusan pengertian hukum. Hukum itu banyak seginya, sangat luas ruang lingkupnya, jadi tidak mungkinlah untuk dirumuskan dalam suatu definisi yang hanya terdiri beberapa kalimat saja Tidak berhasilnya definisi-definisi hukum yang banyak dibuat oleh para ahli hokum untuk dapat diterima secara universal, karena tidak atau kurang dipahaminya hakikat serta apa yang menjadi ruang lingkup definisi.
Hukum dapat dikatakan sebagai ’konsesus’ yang diterima bersama sebagai aturan yang wajib ditaati dan didukung oleh suatu kekuasaan dalam mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan agar selalu berada pada kondisi kesusilaan dalam mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam lingkungan hidupnya.
Bagi dunia usaha yang berfungsi sebagai agen pembangunan ekonomi, terdapat perangkat hukum yang mengaturnya, yaitu Kitab Undang-undang Hukum dagang dan Kitab Undang-undang Kepailitan. Contohnya pada Pasal 6 Setiap orang yang menyelenggarakan suatu perusahaan, tentang kekayaannya dan tentang segala sesuatu berkenaan dengan perusahaan itu diwajibkan untuk membuatkan catatan tentang perusahan tersebut baik berbentu neraca atau lain sebagainya.

1. Hukum sebagai agen pengendalian diri berarti
Sebagai agen pengendalian diri, hukum harus mengandung :
a. Etika
b. Estetika
c. Kejujuran
d. Rasional.
Oleh karena itu, sangat salah apabila para aparat hukum menganggap hanya mereka yang mengerti dan dapat menterjemahkan produk hukum yang sesungguhnya senyawa dengan sosial kemasyarakatan.

2. Hukum Sebagai Aturan Yang Hidup dalam Masyarakat
Cara melakukan pengawasan atas kemajuan atau tugas agar dapat membandingkan hasil dan sasaran secara teratur serta menyesuaikan usaha atau kegiatan dengan hasil pengawasan, yaitu dengan :
a. Menerbitkan peraturan berupa Undang-undang, peraturan Pemerintah dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya yang mengikat.
b. Melakukan pengawasan secara teratur dengan cara melakukan pengecekan
langsung kelapangan (perusahaan), meminta laporan berkala.
c. Menetapkan benar-salah sesuai patokan hukum dari dua atau lebih pelaku
ekonomi yang terlibat dalam konflik.
d. Kepastian; Diterbitkannya produk hukum di harapkan diperoleh unjuk perbuatan
yang nilai/persepsi yang sama dari semua anggota masyarakat clan aparat.Produk
e. Keadilan; Adil yaitu adil yang menjadi sifat seseorang sehingga dikatakan orang yang adil, dan ada adil yang menjadi sifat masyarakat atau pemerintahan yang adil.

Melihat uraian hukum sebagai agen pengendalian diri, dan hukum sebagai aturan, maka terlihat fungsi-fungsi dari hukum yaitu :
a. Menciptakan ketertiban.
b. Menyelesaikan perselisihan-perselisihan.
c. Memberikan perlindungan.

D. KESIMPULAN
Melaksanakan pembangunan ekonomi terlebih dahulu ditetapkan tujuan, dan kondisi ekonomi saat ini. Kemudian dari itu, dipikirkan bagaimana melibatkan manusia sebagai agen dan pelaku pembangunan ekonomi baik sebagai produsen maupun sebagai distributor. Oleh karena manusia adalah makhluk yang bias membuat salah maka untuk lebih mempertegas upaya mencegah terjadinya konflik dan atau menyelesaikan konflik yang terjadi, maka melalui hukum di buat aturan-aturan yang mengikat yang unsur utamanya adalah penerbitan produk hukum; melakukan pengawasan secarateratur, menetapkan patokan hukum, memberikan kepastian dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Adanya hukum sebagai pengendalian dalam pembangunan ekonomi, maka akan tercipta ketertiban, menyelesaikan perselisihan-perselisihan dan memberikan perlindungan bagi para pelaku pembangunan ekonomi.

Disusun oleh :
  1. Catur Dewi Ratifikasih
  2. Farah Fatahiyah
  3. Febi Aziza
  4. Kiki Ramdanti
  5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05


PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

Review Jurnal : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat Dari Segi Kerugian Akibat Barang Cacat Dan Berbahaya
Pengarang : Sabarudin Juni, SH.
Institusi : Fakultas Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara

I. Pendahuluan

Masalah perlindungan konsumen yang secara tegas ditangani secara khusus, baru dikenal dan tumbuh di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, sehingga belum mengakar pada segenap lapisan dan kelompok masyarakat yang ada.Sebelum perlindungan konsumen berkembang pengertian konsumen lebih cenderung identik dengan pengertian masyarakat dalam perkembangan hal-hal yang menyangkut masalah industri, perdagangan, kesehatan dan keamanan, perundangan-undangan yang disusun pada waktu itu, pada setiap konsiderannya menyebutkan kepentingan masyarakat ataupun kesehatan rakyat/warga negara dalam pengertian yang luas termasuk didalamnya pengertian konsumen.

II. Permasalahan

Bagaimana penerapan dalam penegakan perlindungan hukum terhadap konsumen?

Apa ukuran bagi barang yang dinyatakan cacat atau berbahaya?

Bagaimana tanggung jawab dan sikap produsen terhadap barang yang cacat dan berbahaya sehingga akan merugikan konsumen?


III. Pembahasan
A.    Kerugian akibat barang yang cacat dan berahaya
Kerugian yang dialami oleh konsumen akibat barang yang cacat diatur dalam ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata. Apabila seseorang menimbulkan kerugian tersebut mirip perbuatan melawan hukum dan kerugian itu ditimbulkan oleh benda tanpa perbuatan manusia maka pertanggung jawabannya terletak pada pihak yang mengawasi benda tersebut serta bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang terjadi. Dalam kenyataan konsumen Indonesia masih sering mengalami kasus-kasus yang sangat merugikan dirinya baik secara materiel maupun immateriel.
Kecenderungan meningkatnya korban yang terjadi pada konsumen digambarkan oleh Biro Statistik Pusat Jakarta yaitu : tahun 1986 terjadi kasus 321 penderita akibat makanan yang beracun, tahun 1995 adanya kasus penipuan terhadap 123 orang konsumen perumahan di Riau. Selain itu, kecelakan transportasi juga mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Yang paling parah adalah hilangnya nyawa konsumen tersebut. Atau pemadaman arus listrik yang memakan waktu lama yang akan merugikan konsumen listrik tersebut. 
Kesan yang ditangkap dari semua kejadian diatas adalah bahwa posisi konsumen di Indonesia lemah. Dari aspek hukum, lemahnya posisi konsumen terjadi tidak hanya dari aspek materi (substansi) hukum, tetapi juga dari sisi kelembagaan hukum dan budaya hukum.
Hal diatas menyebabkan kerugian materi atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen disebabkan oleh tidak sempurnanya produk. Akan tetapi, Banyak produsen yang kurang menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi konsumen atau menjamin keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi produk yang dihasilkannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Rendahnya kesadaran hukum para pejabat pemerintah yang tidak  hati-hati dalam pengawasanterhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan produsen.
2. Masih rendahnya kesadaran masyarakat konsumen dan produsen lapisan bawah serta kurangnya penyuluhan hukum sehingga mereka tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada.

3. Adanya kesengajaan dari produsen untuk mengedarkan barang yang cacat dan berbahaya, baik karena menyadari kelemahan konsumen, kelemahan pengawasan, ataupun demi mengejar keuntungan atau laba.


B. Kriteria atau ukuran terhadap barang yang dikatakan cacat dan berbahaya
Produk disebut cacat bila produk itu tidak aman dalam penggunaannya, tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana yang diharapkan orang dengan mempertimbangkan berbagai keadaan, yaitu:

a. penampilan produk

b. kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk

c. saat produk tersebut diedarkan

Pengertian cacat dalam KUHPerdata diartikan sebagai cacat yang “sungguh-sungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dari pengertian diatas, maka satu hal yang harus dijalankan oleh para produsen adalah, utamakan kualitas, bukan profit dan kuantitas.


C. Tanggung jawab produsen terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen
Kerugian yang dialami oleh seseorang pemakai produk cacat atau berbahaya, bahkan pemakainya menjadi korban merupakan tanggung jawab mutlak produsen Dalam hal ini produsen berarti :

1. Pembuat produk.

2. Produsen bahan-bahan mentah atau komponen dari produk.

3. Setiap orang yang memasang merek, nama, atau memberi tanda khusus untuk pembeda produknya dengan orang lain.

4. Tanpa mengurangi tanggung jawab pembuat produk, setiap pengimpor produk untuk dijual, disewakan, atau dipasarkan.

5. Setiap pemasuk produk, apabila produk tidak diketahui atau pembuat produk diketahui tetapi pengimpornya tidak diketahui.

Pada umumnya ganti rugi karena adanya cacat barang itu sendiri adalah tanggung jawab penjual. Dengan adanya product liability maka terhadap kerugian pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan berdasarkan adanya kewajiban produsen untuk menjamin kualitas suatu produk.

Tuntutan ganti rugi ini dapat ditujukan kepada produsen dan juga kepada penjual sebagai pihak yang menyediakan jasa untuk menyalurkan barang/produk dari produsen kepada pihak penjual (penyalur) berkewajiban menjamin kualitas produk yang mereka pasarkan. Yang dimaksud dengan jaminan atas kualitas produk ini adalah suatu jaminan atau garansi bahwa barang-barang yang dibeli akan sesuai dengan standar kualitas produk tertentu. Jika standar ini tidak terpenuhi maka pembeli atau konsumen dapat memperoleh ganti rugi dari pihak produsen/penjualan. Mengenai masalah apakah penjual mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan (Pasal 1506 KUHPerdata) baik dia mengetahui atau tidak penjual harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya

pada penjualan barang-barang yang menurut sifatnya mudah rusak, seperti penjualan barang pecah belah (gelas, piring dan sebagainya), apabila penjualan tersebut dalam jumlah yang besar, maka apabila penjual telah meminta diperjanjikan tidak menanggung suatu apapun dalam hal adanya cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya, dan pihak pembeli telah menyanggupinya, maka hal ini berarti bahwa adanya cacat tersembunyi pada barang yang dibeli menjadi resiko pembeli sendiri.

Jadi pertanggung jawaban penjual adalah menyangkut tanggung jawab karena tidak berfungsinya barang/jasa yang diperjual belikan itu sendiri (cacat tersembunyi). Sedangkan tanggung jawab produsen adalah menyangkut tanggung jawab atas kerugian lain (harta, kesehatan tubuh atau jiwa pengguna barang/jasa) yang terjadi akibat penggunaan produk tersebut. Sesuai dengan judul perlindungan konsumen, maka yang berhak mengajukan tuntutan ganti rugi adalah konsumen.


IV. Kesimpulan
Penegakan perlindungan hukum terhadap konsumen perlu diterapkan, hal ini ditunjang dengan dibuatnya suatu undang-undang tentang perlindungan konsumen. Pada kenyataannya telah terbentuk suatu lembaga konsumen dalam yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia untuk membantu konsumen menegakan hak nya atau barang dan jasa yang mereka beli.

Produk yang cacat bila produk tidak aman dalam penggunaannya tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan dengan pertimbangan berbagai keamanan terutama tentang:

- penampilan produk

- penggunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk.

- saat produk tersebut diedarkan

Selanjutnya pasal 1367 KUH Perdata tanggung jawab mutlak terhadap produsen untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen akibat dari kerugian yang dialami konsumen yang disebabkan oleh barang yang cacat dan berbahaya.


Disusun oleh :
  1. Catur Dewi Ratifikasih
  2. Farah Fatahiyah
  3. Febi Aziza
  4. Kiki Ramdanti
  5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05