Minggu, 03 Juni 2012

Monopoli Pada Krisis Ekonomi Dalam Era Reformasi

Review Jurnal : KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH MENGATASI KRISIS EKONOMI DALAM ERA REFORMASI

Pengarang : Ginandjar Kartasasmita
Institusi : Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri
Sumber: http://ginandjar.com/public/15KebijaksanaanPemerintahMenghadapiKrisis.pdf

I. Pendahuluan
Sebelum menyampaikan materi ceramah tentang kebijaksanaan pemerintah mengatasi krisis, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan TNI-AD yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk berbicara di depan Apel para Danrem dan Dandim se Indonesia ke-19 yang saat ini tengah berlangsung. Forum ini saya anggap penting, karena dari tema yang diangkat serta topik ceramah yang telah ditentukan, dapat ditangkap kesan bahwa Pimpinan TNI-AD dan jajarannya memiliki responsibilitas yang tinggi terhadap seriusnya permasalahan ekonomi bangsa Indonesia yang sudah lebih dari satu tahun dilanda krisis denganberbagai dampak negatifnya.
Sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap keamanan teritorial, kiranya tepat sekali jika TNI-AD memiliki sikap pro aktif terhadap permasalahan ekonomi dewasa ini, karena dampak yang ditimbulkannya berpotensi menjadi gangguan bahkan ancaman terhadap keamanan wilayah Nusantara. Kesamaan visi dari jajaran ABRI dan seluruh komponen bangsa sangat diperlukan, untuk bersama-sama mengatasi krisis tersebut sejalan dengan semangat reformasi yang tengah bergulir saat ini.
Kesempatan yang terbatas ini ingin saya gunakan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi ekonomi nasional yang hingga kini masih memprihatinkan serta berbagai langkah yang telah ditempuh pemerintah dalam upaya mengakhiri krisis secepatnya. Sesuai dengan topik yang telah ditentukan yakni "Kebijakan Pemerintah dalam Mengatasi Krisis dalam Era Reformasi", maka tulisan ini akan diawali dengan menyampaikan gambaran yang menyeluruh mengenai kondisi krisis ekonomi yang dihadapi bangsa kita beserta implikasinya. Kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah kebijaksanaan yang telah ditempuh selama ini, baik melalui kebijakan makro maupun mikro, yang arahnya tiada lain agar krisis segera dapat berakhir.
II. Kondisi Krisis Ekonomi yang Dihadapi oleh Bangsa dan Negara Dewasa ini
Sudah lebih dari satu tahun yang lalu, tepatnya sejak Juli 1997 bangsa Indonesia dilanda krisis moneter, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi bahkan berlanjut menjadi krisis kepercayaan. Kondisi krisis dengan berbagai dampak negatifnya tersebut, sama sekali berbeda nuansa dengan masa-masa sebelumnya yang lebih menjanjikan bagi kemajuan bangsa dan negara. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 1969 - 1997 yang tidak pernah mengalami penurunan, bahkan laju pertumbuhannya termasuk paling tinggi di antara negara-negara sedang berkembang. Berdasarkan harga konstan 1983, naiknya Produk Domestik Bruto (PDB) yang dijadikan tolok ukur pertumbuhan ekonomi, selama kurun waktu tersebut meningkat rata-rata sekitar 7 persen, dan pendapatan riil per kapita yang menggambarkan tingkat kemakmuran bangsa naik sebesar 5 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut telah dapat mengentaskan berjuta-juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan serta dapat membuka peluang kerja yang makin luas. Lebih dari itu kapasitas produksi juga berhasil ditingkatkan baik secara fisik, sarana dan prasarana produksi, maupun dalam bentuk meningkatnya jumlah dan kualitas sumber daya manusia. Khususnya dalam hal sumber daya manusia, peningkatan jumlah dan kualitasnya, antara lain, tercermin dari meningkatnya angka partisipasi di berbagai jenjang pendidikan, serta naiknya tingkat pendidikan, keterampilan dan penguasaan teknologi para pekerja. Selain itu juga kesejahteraan penduduk telah meningkat, antara lain, tercermin dari meningkatnya usia harapan hidup atau menurunnya tingkat mortilitas yang disertai dengan menurunnya tingkat kelahiran yang disebabkan oleh keberhasilan program keluarga berencana dan makin tingginya tingkat pendidikan perempuan. Bahkan, sejak tahun 1980-an penurunan tingkat kelahiran tersebut cenderung lebih cepat daripada penurunan tingkat mortilitasnya, sehingga laju pertumbuhan penduduk cenderung menurun.
Dalam kurun waktu yang lebih dini, yaitu 1985 - 1997 tampak perekonomian Indonesia mampu tumbuh dengan rata-rata 7,5 persen per tahun dan pendapatan per kapita tumbuh dengan rata-rata 5,8 persen per tahun, sedangkan laju inflasi dapat terkendali pada tingkat kurang dari 9 persen. Bersamaan dengan itu jumlah penduduk miskin berhasil diturunkan hingga mencapai 22,5 juta orang atau tinggal sekitar 11 persen pada tahun 1996. Sementara itu angkatan kerja yang berkualitas makin banyak dapat ditampung dalam kegiatan formal sejalan dengan meningkatnya kapasitas produksi. Tambahan pula depresiasi rupiah terhadap mata uang asing (dolar) relative rendah dan defisit transaksi berjalan mampu diimbangi dengan surplus transaksi modal, sehingga cadangan devisa terus meningkat. Bahkan selama periode 1993/94 - 1996/97 anggaran belanja negara berhasil mencapai surplus. Semua keberhasilan tersebut tidak terlepas dari efektivitas kebijakan deregulasi yang ditempuh secara berlanjut. Namun di balik keberhasilan yang telah dicapai bangsa Indonesia sampai dengan pertengahan tahun 1997 tersebut, telah terjadi pula proses melemahnya daya saing perekonomian nasional, yang diakibatkan, antara lain, oleh lemahnya kinerja dunia usaha swasta dan lembaga perbankan, termasuk kelemahan dalam hal pengawasan sistem keuangan; peningkatan upah/gaji yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas kerja; dan bermunculannya praktek monopoli dan oligopoli. Keseluruhan faktor tersebut pada gilirannya telah mengakibatkan bekerjanya perkonomian menjadi tidak efisien. Kondisi yang demikian telah menjadikan perkonomian Indonesia kurang mampu bereaksi terhadap berbagai perubahan yang terjadi di pasar internasional.
Krisis ekonomi terjadi di awali oleh melemahnya secara drastis nilai rupiah, seperti juga nilai hampir semua mata uang regional lainnya. Berbagai kelemahan yang telah dikemukakan di atas telah memperberat krisis ekonomi di Indonesia, yang dipacu pula oleh situasi politik yang tidak menentu. Kondisi demikian masih diperburuk lagi oleh berlangsungnya kemarau panjang sehingga produksi pangan menurun. Pada saat yang bersamaan harga migas telah menurun cukup tajam di pasar dunia dan berdampak negatif pada penerimaan negara dan devisa dari ekspor migas. Implikasi dari berbagai kelemahan tersebut adalah : 1) aliran modal berbalik arah dari aliran masuk (capital inflow) menjadi aliran keluar (capital outflow); 2) terjadinya kontraksi PDB yang bersumber dari menurunnya permintaan domestik; dan 3) meningkatnya jumlah
pengangguran terbuka dan setengah penganggur. Ketiga hal tersebut pada akhirnya telah
menurunkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama dari kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah dan tetap. Pendapatan yang sudah rendah tersebut masih harus berhadapan dengan laju inflasi yang sangat tinggi yang dipicu oleh tingginya depresiasi rupiah. Interaksi antara pendapatan rendah dengan inflasi yang tinggi tersebut pada gilirannya telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin yang semula telah berhasil diturunkan secara cukup tajam, kini meningkat kembali dalam jumlah yang semakin besar. Akibatnya tingkat partisipasi pendidikan pada berbagai jenjang pendidikan dan derajad kesehatan yang sebelumnya terus diupayakan peningkatannya khususnya bagi golongan masyarakat miskin, kini menjadi terganggu.
III. Kebijaksanaan Pemerintah Mengatasi Krisis
Krisis ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana telah diuraikan di atas, secara serius telah diupayakan untuk diatasi dengan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik yang bersifat makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi. Kedua tugas tersebut sangat penting antara lain karena:
(1) Meluasnya pengangguran akibat krisis yang terjadi di satu pihak dapat memicu timbulnya kerusuhan sosial, sementara di lain pihak apabila berlangsung lama dapat menurunkan daya saing angkatan kerja, karena mereka tidak mampu lagi menguasai perkembangan ketrampilan baru yang sangat diperlukan.
(2) Kapasitas produksi baik pada industri pengolahan maupun sarana dan prasarana pengangkutan, komunikasi, serta energi yang menganggur tanpa pemeliharaan yang baik akan menjadi rusak.
(3) Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya secara berlanjut, pada gilirannya akan menambah jumlah penduduk miskin karena daya beli mereka akan terus merosot.
(4) Kemunduran dalam pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan terutama bagi putra-putri penduduk berpendapatan rendah, akan mengganggu upaya pemberdayaan kelompok penduduk tersebut di masa datang.
1. Kebijaksanaan Ekonomi Makro
Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi deficit anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri.
Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan menahan naiknya permintaan aggregat, juga untuk mendorong masyarakat meningkatkan tabungan di sektor perbankan. Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.
2. Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah, ditujukan, antara lain,
a) untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program
penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
b) menyehatkan sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan;
c) merestrukturisasi hutang luar negeri;
d) mereformasi struktural di sektor riil; dan
e) mendorong ekspor.
a) Jaring Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini berbagai langkah telah dilakukan untuk menambah alokasi anggaran rutin (khususnya untuk subsidi bahan bakar minyak, listrik dan berbagai jenis makanan kebutuhan pokok), mempertajam prioritas alokasi dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan.
Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap program dan kegiatan proyek
pembangunan, antara lain, dengan:
1) menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak;
2) melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan
dan kesehatan;
3) memperluas penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan dan irigasi, yang dapat memperlancar kegiatan ekonomi; dan
4) memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus meningkatkan partisipasi peranan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.
Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan kegiatan proyek pembangunan, total anggaran dalam revisi APBN untuk sektor pertanian, pengairan, perdagangan dan pengembangan usaha, pembangunan daerah, pendidikan, kesehatan, perumahan dan permukiman, dalam tahun anggaran 1998/99 tidak hanya mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan APBN sebelum revisi, tapi secara riil juga lebih besar dari realisasi anggaran pembangunan tahun 1997/98, sedangkan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor lainnya secara riil mengalami penurunan.
Implikasi dari pelaksanaan program jaring pengaman sosial yang disertai langkah
penyesuaian untuk mempertajam prioritas alokasi dan peningkatan efisiensi anggaran
pembangunan, pemerintah tidak dapat menghindari terjadinya defisit yang sangat besar,
lebih kurang 8,5 persen terhadap PDB, dalam revisi APBN 1998/99. Hal ini disebabkan oleh karena penerimaan dalam negeri dalam kondisi kontraksi PDB serta menurunnya harga migas di pasar internasional sangat sulit untuk dapat ditingkatkan, walaupun sudah termasuk adanya divestasi dalam BUMN.
Pemerintah sangat menyadari bahwa defisit APBN sebesar 8,5 persen terhadap PDB tidak sustainable, itulah sebabnya akan diupayakan untuk menurunkannya minimal menjadi setengahnya pada tahun 1999/2000 dan mengembalikan anggaran menjadi berimbang dalam jangka waktu 3 tahun. Sehubungan dengan ini akan terus dikaji langkah-langkah untuk menetapkan pemberian subsidi yang lebih tepat dan pelaksanaan program lain dalam kerangka jaring pengaman sosial. Pemantauan dan evaluasi program penciptaan lapangan kerja serta program di bidang pendidikan dan kesehatan akan terus disempurnakan agar dapat dipastikan bahwa yang memperoleh manfaat terutama adalah penduduk miskin. Di samping itu peningkatan kinerja penerimaan negara dan manajemen pengeluaran negara akan merupakan unsur terpenting dalam upaya menekan defisit anggaran. Dalam kaitannya dengan upaya memperkuat manajemen pengeluaran, akan disusun kerangka prioritas dalam pengeluaran negara yang lebih jelas, persiapan penyusunan anggaran yang lebih efisien, kontrol manajemen kas, serta penyusunan laporan yang komprehensif, akurat dan tepat waktu.
Penerimaan negara dari perpajakan diupayakan untuk ditingkatkan dengan menghilangkan berbagai bentuk pengecualian terhadap pengenaan pajak pertambahan nilai; meningkatkan nilai jual objek pajak atas PBB (pajak bumi dan bangunan) sektor perkebunan dan kehutanan serta meningkatkan pendapatan pajak bukan migas melalui peningkatan cakupn audit tahunan, penyempurnaan program audit PPN dan peningkatan penerimaan tunggakan pajak. Sementara itu upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak mencakup pengumpulan dana oleh pemerintah di luar anggaran serta meningkatkan kinerja BUMN dengan privatisasi dan peningkatan dalam manajemennya.
b) Penyehatan Sistem Perbankan
Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, langkah-langkah mendasar dari kebijakan penyehatan dan restrukturisasi perbankan pada dasarnya terdiri dari dua kebijakan pokok, yaitu:
1. Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna mendukung
pemulihan dan kebangkitan perekonomian nasional melalui:
a. program peningkatan permodalan bank,
b. penyempurnaan peraturan perundang-undangan, antara lain, mencakup:
i) perizinan bank yang semula merupakan wewenang Departemen Kuangan dialihkan kepada Bank Indonesia.
ii) investor asing diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemegang saham bank.
iii) rahasia bank yang semula mencakup sisi aktiva dan pasiva diubah menjadi hanya mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya.
c. penyempurnaan dan penegakkan ketentuan kehati-hatian, antara lain:
i) Bank-bank diwajibkan untuk menyediakan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8% pada akhir tahun 1999, dan 10% pada akhir tahun 2000, sebagaimana telah diumumkan pemerintah pada bulan Juni 1998.
ii) Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pemilik dan pengurus bank yang terbukti telah melanggar ketentuan yang berlaku.
2. Kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan perbankan yang telah terjadi dengan
mempercepat pelaksanaan penyehatan perbankan.
Langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi, membangun kembali sistem perbankan yang sehat, dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, antara lain, meliputi: 1) pemberian jaminan pembayaran kepada deposan dan kreditur; 2) pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk melakukan restrukturisasi bank-bank yang kurang atau tidak sehat; 3) melakukan due diligence terhadap bank-bank yang diambil alih pengelolaannya dan terhadap bank-bank lainnya; dan 4) menyusun RUU perbankan yang akan mengatur kembali ketentuan mengenai kerahasian bank, pengawasan, pemilikan investor asing, dan kedudukan BPPN serta bank sentral.
Dengan kebijaksanaan tersebut di atas diharapkan kinerja perbankan nasional menjadi lebih sehat dan efisien sehingga terpercaya serta mampu menjadi bank yang dikelola secara profesional terutama dalam menghadapi era globalisasi yang menuntut daya saing tinggi.
c) Restrukturisasi Hutang Luar Negeri
Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank yang besar telah menjadi penyebab terpenting terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Hutang-hutang tersebut dalam tahun 1998/1999 akan jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Padahal melemahnya nilai tukar rupiah yang terus berlanjut akan semakin memperburuk kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu untuk mengurangi permintaan terhadap mata uang asing dan sekaligus memberi kesempatan kepada para debitur untuk menyelesaikan hutang-hutangnya, dalam kesepakatan Frankfrut tanggal 4 Juni 1998, telah disusun kerangka restrukturisasi hutang dunia usaha, skema penyelesaian hutang antar bank dan pengaturan tentang fasilitas pembiayaan perdagangan. Dalam kesepakatan tersebut para kreditur dan debitur secara sukarela dapat menyepakati jumlah hutang dan perubahan pinjaman menjadi equity, dan ada persyaratan minimal masa pengembalian 8 tahun termasuk masa tenggang 3 tahun, maka dilihat dari upaya penguatan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, berarti restrukturisasi hutang swasta dan perbankan tersebut minimal dapat mengurangi permintaan valuta asing selama 3 tahun. Untuk mendorong penyelesaian hutang swasta telah diluncurkan Prakarsa Jakarta yang memungkinkan para kreditur dan debitur menyelesaikan hutang piutang di luar pengadilan niaga, yaitu melalui restrukturisasi modal perusahaan.
Restrukturisasi hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank di Indonesia serta penambahan dana luar negeri baik yang berasal dari CGI maupun tambahan dana dari IMF telah dapat meningkatkan sisi penyediaan valuta asing. Sebagai konsekuensi interaksi antara naiknya persediaan dengan turunnya permintaan valuta asing tersebut diharapkan dapat menguatkan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya juga akan menurunkan laju inflasi. Untuk kepentingan itulah dan untuk menarik modal asing masuk ke Indonesia maka pemerintah hingga saat ini masih mempertahankan kebijaksanaan lalulintas devisa dengan sistem devisa bebas. Sementara itu untuk mengurangi tekanan terhadap keuangan negara dan neraca pembayaran luar negeri, melalui Paris Club, Indonesia telah melakukan penjadwalan kembali hutang pemerintah untuk tahun 1998/1999 - 1999/2000. Dalam rangka itu pemerintah telah berhasil menunda pembayaran cicilan pokok sebesar US dollar 4,2 miliar.
d) Reformasi Struktural di Sektor Riil
Agar perekonomian, terutama sektor riil dapat berkembang lebih efisien, pemerintah
melancarkan berbagai program reformasi struktural. Reformasi struktural di sektor riil mencakup: a) penghapusan berbagai praktek monopoli, b) deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dalam dan luar negeri dan bidang investasi, dan c) privatisasi BUMN.
Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain, adanya praktekpraktek monopoli di berbagai bidang usaha. Dengan praktek-praktek monopoli telah terjadi konsentrasi kekuatan pasar hanya pada satu atau beberapa pelaku usaha, sehingga kegiatan produksi, distribusi menjadi tidak efisien dan secara lebih luas daya saing perekonomian nasional menjadi lemah. Kebijaksanaan penghapusan monopoli yang telah dan akan dilakukan, antara lain adalah: penghapusan monopoli yang dilakukan oleh Bulog dalam mengimpor dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, gula pasir, terigu, dan jagung, sehingga Bulog hanya akan menyalurkan beras; penghapusan BPPC; penghapusan kegiatan usaha yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal, monopoli produksi minyak pelumas oleh Pertamina dan lain-lain. Dalam upaya menghapus monopoli tersebut pemerintah telah mengajukan ke DPR RUU tentang persaingan yang sehat. Dengan adanya penghapusan monopoli diharapkan ekonomi biaya tinggi bisa dihindarkan sehingga bisa meningkatkan daya saing perekonomian nasional. Dengan hapusnya monopoli, masyarakat juga diuntungkan sebab akan memperoleh barang dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah. Dalam kaitannya dengan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, antara lain, mencakup:
a) mencabut peraturan yang membatasi kepemilikan investor asing sampai 49 persen dari perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar pada pasar modal
b) merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha yang tertutup bagi investor asing
c) mencabut pembatasan investasi asing dalam perkebunan kelapa sawit, dalam perdagangan eceran dan dalam perdagangan besar
d) mencabut ketentuan tataniaga yang bersifat restriktif untuk pemasaran semen, kertas dan kayu lapis
e) menghapus harga patokan semen (HPS)
f) menerapkan perdagangan bebas lintas batas Dati I dan Dati II untuk semua komoditas termasuk cengkeh, kacang mete dan vanili dan mencabut kuota yang membatasi penjualan ternak.
e) Promosi Ekspor Dalam situasi permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi ekspor. Tambahan pula dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tinggi dewasa ini, Indonesia makin memiliki daya saing dalam barang ekspor yang padat karya dan padat kekayaan alam. Namun peningkatan ekspor dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala, yakni keengganan pihak luar negeri membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan baku, serta hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ekspor, seperti misalnya operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan administrasi perpajakan.
IV. Pertumbuhan Ekonomi Mendatang Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945
Beberapa hal penting yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 dan perlu dijadikan acuan dalam membangun ekonomi nasional di masa depan, adalah mengenai demokrasi ekonomi yang esensinya produksi dikerjakan oleh semua pelaku ekonomi, mengutamakan kemakmuran masyarakat, serta penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajad hidup orang banyak dan penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam rangka merealisasikan amanat pasal 33 UUD 1945 tersebut, pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi. Hal ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang hanya mengandalkan peranan dominan dari unit usaha besar dan kurang mengikutsertakan peranan usaha menengah, kecil dan koperasi ternyata tidak menghasilkan fondasi ekonomi yang kokoh dan tidak mengarah kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu untuk membangun kembali perekonomian nasional, perlu dirumuskan kebijakan ekonomi yang lebih memberikan kesempatan berusaha bagi pengusaha menengah, kecil dan koperasi tanpa harus menghambat perkembangan unit usaha besar.
Upaya untuk membangun kembali jaring distribusi perdagangan dalam negeri ditempuh
dengan meningkatkan peran usaha kecil, menengah dan koperasi mengalami peningkatan, baik dalam pengadaan maupun penyaluran bahan baku, bahan pokok dan bahan kebutuhan masyarakat lainnya.
Bagi usaha kecil dan mengengah dialokasikan kredit dengan tingkat bunga subsidi sekitar 15 persen. Dana tersebut semula dibiayai bersama antara Bank Indonesia dan bank pelaksana dengan perbandingan 65 dan 35 persen. Tetapi sejak Juni 1998 dana kredit tersebut seluruhnya berasal dari Bank Indonesia. Sementara itu dalam upaya mendorong sektor keuangan yang sehat dan efisien juga diberikan perhatian khusus kepada Bank Perkreditan Rakyat yang selama ini telah banyak membiayai usaha kecil. Sebagaimana diketahui bahwa BPR telah menjangkau usaha kecil sampai ke daerah pedesaan, sehingga dinilai sangat strategis dalam menggerakkan perekonomian masyarakat pedesaan melalui pengembangan usaha kecil.
Di samping dukungan dana, keberpihakan pemerintah kepada usaha kecil, menengah dan koperasi juga diupayakan melalui penyusunan RUU tentang Larangan Praktek Monopoli, yang saat ini telah disampaikan kepada dan sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini dianggap penting dan mendesak karena beberapa pertimbangan, antara lain:
1) perlunya mengarahkan terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
2) demokrasi ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan distribusi barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efisien dan efektif, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar; dan
3) setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam aturan persaingan yang sehat dan wajar.
V. Penutup
Dengan berbagai upaya tersebut diharapkan kepercayaan kepada ekonomi kita akan pulih 
dan ekonomi kita akan segera tumbuh kembali. Diharapkan pada tahun 2000 selambat-lambatnya kita telah memperoleh kembali pertumbuhan positif. Dalam lima tahun, Insya Allah, ekonomi kita telah sepenuhnya pulih kembali dan bahkan akan tumbuh lebih kuat lagi karena landasannya telah lebih kukuh.
Demikianlah gambaran dan pokok-pokok kebijakan ekonomi dalam upaya untuk mengatasi krisis dalam era reformasi yang saat ini terus bergulir. Berbagai kebijakan ekonomi makro dan mikro tersebut tidak akan mencapai hasil yang diharapkan apabila tidak mendapat dukungan dari semua pihak.

Disusun oleh :
1. Catur Dewi Ratifikasih
2. Farah Fatahiyah
3. Febi Aziza
4. Kiki Ramdanti
5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar