Sabtu, 02 Juni 2012

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI)

Review Jurnal : Prospek Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam Kesenian Tradisional di Indonesia
Pengarang : Agnes Vira Ardian

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis serta dalam rangka memberikan perlindungan bagi kesenian tradisional dari pembajakan oleh negara lain. 
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif. Spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah bersifat deskriptif analitis. Jenis datanya berupa data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan atau dokumentasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah analisis data kualitatif kemudian  disimpulkan menggunakan logika deduksi untuk membangun sistem hukum
positif.

PENDAHULUAN
HKI terkait dengan kreativitas manusia, dan daya cipta manusia dalam
memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah kehidupannya, baik dalam seni,
ilmu pengetehuan dan teknologi maupun produk unggulan suatu masyarakat. Oleh
karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan
eksistensi HKI sangat penting. Dimana kegiatan penelitian ini tidak dapat
menghindar dari masalah HKI apabila menginginkan suatu penghormatan hak
maupun inovasi baru, dan orisinalitasnya.

Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh
berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek
lainnya. Akan tetapi, aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan
bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi
berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual
tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual,
sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara
pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.

PEMBAHASAN
Kebudayaan (seni dan budaya) semakin disadari sebagai sebuah fenomena kehidupan manusia yang paling progresif, baik dalam hal pertemuan dan pergerakan manusia secara fisik ataupun ide/gagasan serta pengaruhnya dalam bidang ekonomi. Karenanya banyak negara yang kini menjadikan kebudayaan (komersial atau non komersial) sebagai bagian utama strategi pembangunannya. Selanjutnya, dalam jangka panjang akan terbentuk
sebuah sistem industri budaya. Dimana kebudayaan bertindak sebagai faktor utama pembentukan pola hidup, sekaligus mewakili citra sebuah komunitas. Di Indonesia, poros-poros seni dan budaya seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Denpasar (Bali) telah menyadari hal ini dan mulai membangun sistem industri budayanya masing-masing. Meski dalam beberapa kasus, industri budaya lebih merupakan ekspansi daripada pengenalan kebudayaan, tetapi dalam beberapa pengalaman utama, industri budaya justru merangsang kehidupan masyarakat pendukungnya.

Industri budaya akan merangsang kesadaran masyarakat untuk melihat kembali dirinya sebagai aktor penting kebudayaannya. Mendorong perhatian masyarakat terhadap posisi dirinya dalam peradabannya. Selanjutnya diharapkan dapat berkembang menjadi ajang para seniman dan masyarakat untuk bereksplorasi dan berkompetisi dalam kreatifitas menerjemahkan tandatanda zaman. Dimana seharusnya industri budaya menjadi wahana masyarakat lokal untuk menegaskan identitas budayanya berhadapan dengan budaya
global. Industri yang mampu menyerap interaksi antara seniman, budayawan, intelektual, pengusaha dan masyarakat secara luar biasa baik dalam intensitas maupun kualitasnya. Kasus industri musik dapat dijadikan contoh, dalam hal produk material industri budaya, yaitu betapa terintegrasinya produk industri tersebut dengan pasar, telah membentuk industri budaya yang kokoh dan berkelanjutan.

Kebudayaan Indonesia merupakan salah satu kompleksitas budaya di dunia yang memiliki ciri dan karakter khas, dimana masyarakat menjadi elemen pendukung utama. Kebudayaan dengan sendirinya telah terintegrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, baik dalam pola hidup secara sosial, ekonomi, politis, pemerintahan tradisional, dan lain-lain. Meski demikian, dengan potensi budaya yang sangat potensial dan integritas masyarakat serta budaya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, ternyata sangat sulit sekali membangun sebuah sistem industri budaya yang akan berfungsi mendukung energi kreatif masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Pasal 10 Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Negara Indonesia memegang hak cipta atas karya-karya anonim, dimana karya tersebut merupakan bagian dari warisan budaya komunal maupun bersama. Contoh dari karya-karya tersebut adalah folklore, cerita rakyat, legenda, narasi sejarah, komposisi, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian dan kaligrafi.

Konsep perlindungan terhadap HKI pada dasarnya adalah memberikan hak monopoli, dan dengan hak monopoli ini, pemilik HKI dapat menikmati manfaat ekonomi dari kekayaan intelektual yang didapatnya. Perlu diakui bahwa konsep HKI yang kita anut berasal dari Barat, yaitu konsep yang didasarkan atas kemampuan individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Pemberian hak monopoli kepada individu dan perusahaan ini, sering bertentangan dengan kepentingan publik (obat, makanan, pertanian). Di samping itu, berbagai perundangan HKI pada kenyataannya tidak dapat melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge and genius). Pengetahuan tradisional yang berkembang di negara seperti Indonesia, berorientasi kepada komunitas, bukan individu. Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan secara khusus (obat, herbs, lingkungan hidup). Dimasukannya masalah HKI kedalam bagian dari GATT melalui TRIPS, menambah kesenjangan dalam pemanfaatan kekayaan intelektual antara negara maju dan negara industri baru/berkembang.

Seni dan budaya tidaklah statis, melainkan dinamis dan secara kontinu terus dimanfaatkan oleh masyarakat hingga kini dengan perubahan dan peningkatan. Misalnya adalah motif batik. Dalam kebudayaan Jawa telah mentradisi berupa sejumlah motif dasar, misalnya yang disebut truntum, semèn, kawung, parang, dll. Demikian juga dalam kain tenun seperti songket (Sumatera), lurik (Jawa), dll. Demikian juga dalam bidang kuliner, dikenal makanan “Coto Makassar” (Makasar), “Empe-empe” (Palembang), “Gudeg”

Karya seni tradisional ini selain memiliki nilai seni dan estetika juga memiliki nilai ekonomis serta yang sering tidak diketahui bahwa di dalamnya terkandung hak cipta yang dilindungi undang-undang. Sangat ironis bahwa banyak pencipta yang tidak memahami bahwa ia memiliki hak cipta atas karya cipta yang dihasilkan. Kebanyakan pencipta cukup puas jika karya ciptanya disukai banyak orang dan laku dijual, tanpa mengetahui dan memikirkan bahwa pencipta memiliki hak cipta yang perlu dilindungi dari eksploitasi secara ilegal oleh pihak yang tidak berhak. Sehingga dengan penelitian ini diharapkan adanya penghargaan terhadap pencipta karya seni tradisional melalui perolehan dan pemilikan haknya secara layak serta lebih lanjut akan berdampak lebih luas bagi penghargaan karya seni tradisional di dunia internasional. Dan lebih utama
diharapkan dapat diciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan mencipta, sehingga secara stimulan dapat memberi pengaruh bagi tumbuh suburnya kreativitas masyarakat yang pada gilirannya dapat menciptakan stimulasi yang signifikan bagi lahirnya ciptaan-ciptaan baru yang beragam, berkualitas serta memberi manfaat bagi penggayaan khasanah kehidupan bangsa.

Sebelum dibahas mengenai perlindungan hukum karya seni tradisional dan upaya peningkatan pemahaman dan kesadaran pencipta karya seni tradisional atas hak ciptanya, perlu dibahas apa yang dimaksud karya seni tradisioinal dan pencipta. Menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) karya seni tradisional diartikan sebagai pernyatan ekspresi estetika bangsa Indonesia yang khas dan asli yang secara sosial dipantulkan dalam wujud yang nyata maupun hasil renungan dan kreasi\ bangsa baik komunal maupun pribadi. Karya seni tradisional ini antara lain bisa berupa seni rupa (seni ukir, seni pahat, seni patung, seni lukis, kaligrafi), kerajinan tangan, seni Batik, seni tenun, seni pertunjukan (seni tari, seni musik, seni teater) dan seni arsitektur.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum terhadap sistematik hukum. Penelitian terhadap sistematik hukum dilandasi dengan pengertian-pengertian dasar sistem hukum, yakni : masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan obyek hukum. Oleh karena itu, berikut akan dijabarkan mengenai masyarakat hukum,subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, dan obyek hukum mengenai perlindungan hukum karya senitradisional dalam sistem peraturan perundang-undangan, dimana karya senitradisional sebagai suatu ciptaan masuk dalam lingkup perlindungan hak cipta.

Masalah yang menyangkut komponen seniman yaitu kendala budaya. Seniman di Indonesia pada umumnya bersikap religius dan tradisional. Mereka menganggap kemampuan kesenian yang dimikinya merupakan pemberian Tuhan dan warisan tradisi yang diturunkan oleh lingkungan budaya kolektivisme. Sementara itu, konsep HKI datang dari budaya Barat, yang bertitik tolak pada pengakuan kepada hak-hak individu dalam tradisi falsafah kapitalisme. Di samping itu, tentu saja pengetahuan seniman tentang hukum, khususnya hukum yang menyangkut hak cipta, sangatlah minim. Terutama para seniman tradisional, mereka hampir dapat dikatakan “buta hukum” hak cipta. Oleh sebab itu, sosialisasi HKI di kalangan seniman menjadi sangat penting artinya dan membutuhkan kiat tersendiri, mengingat seniman merupakan “masyarakat” yang punya kepribadian unik. Hal yang terakhir adalah kendala dari komponen masyarakat. Atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya UU Hak Cipta. Jika seorang warga masyarakat melakukan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, mereka akan kena sanksi hukum meskipun mereka menyatakan bahwa tidak tahu perbuatannya dilarang.
  
KESIMPULAN
Dari bab pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlindungan hukum hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia, dibagi menjadi dua yaitu :
a. Perlindungan Preventif
Perlindungan preventif hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia terdapat dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Pasal 10 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang berjudul ‘Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui’, menetapkan :
(9) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
(10) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(11) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi
yang terkait dalam masalah tersebut.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas waktu (Pasal 31 ayat (1) huruf a).

b. Perlindungan Represif
Perlindungan represif hak kekayaan intelektual terhadap kesenian tradisional di Indonesia terdapat juga dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pencipta atau ahli warisnya atau pemegang hak cipta, dimana dalam hal kesenian tradisional hak ciptanya dipegang oleh Negara, berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pemegang hak cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. Gugatan pencipta atau ahli warisnya yang tanpa persetujuannya itu diatur dalam Pasal 55 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang menyebutkan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya:
1) Meniadakan nama pencipta pada ciptaan itu;
2) Mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya;
3) Mengganti atau mengubah judul ciptaan; atau
4) Mengubah isi ciptaan.

2. Prospek hukum hak kekayaan intelektual di Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi kesenian tradisional dari pembajakkan oleh negara lain adalah :
a. Pembentukan perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal;
b. Pelaksanaan dokumentasi sebagai sarana untuk defensive protection dengan melibatkan masyarakat atau LSM dalam proses efektifikasi dokumentasi dengan dimotori Pemerintah Pusat dan Daerah;
c. Menyiapkan mekanisme benefit sharing yang tetap.

Disusun oleh :
  1. Catur Dewi Ratifikasih
  2. Farah Fatahiyah
  3. Febi Aziza
  4. Kiki Ramdanti
  5. Lutfia Nurmanda
Kelas : 2EB05




Tidak ada komentar:

Posting Komentar